Total Tayangan Halaman

Sabtu, 04 Oktober 2025

Seorang innovator Paving Plastik yang tak dilirik Pemerintah

 


Jaring Impian Toni

Di sebuah sudut bengkel kecil di pinggiran kota Bandung, Toni berdiri di antara tumpukan botol plastik bekas. Tangannya kotor, bajunya lusuh, tapi matanya menyala seperti bara.

"Plastik ini bisa jadi sesuatu yang berguna," katanya pelan suatu sore, ketika suara mesin rakitannya menggeram pelan seperti doa yang tak pernah selesai.

Sejak 2017, Toni percaya bahwa sampah tak harus berakhir di TPA. la mencairkan plastik, mencetaknya, dan mengubahnya menjadi paving block yang kuat. Tidak hanya ide karyanya sudah melalui uji tekan, uji abrasi, bahkan uji pembakaran. Dengan biaya seadanya, alat seadanya, dan semangat yang tak pernah habis.

Mesin produksinya ia bangun sendiri. Alat penyaring asapnya ia rancang dengan trial and error.

Namun, keyakinan itu seringkali berbenturan dengan kenyataan.

Berkali-kali Toni mengajukan permohonan ke dinas lingkungan, ke lembaga riset, ke pihak yang katanya peduli inovasi hijau. Tapi tak satupun datang melihat.

"Katanya cinta bumi, tapi datang pun enggak," ujarnya lirih dalam salah satu video TikTok-nya yang kemudian viral.

Ironisnya, jargon tentang ekonomi sirkular dan daur ulang nasional berseliweran. Pejabat lantang soal green industry dan inovasi berkelanjutan. Tapi seorang Toni berdiri sendiri dengan tangannya yang penuh bekas luka bakar plastik tanpa dukungan, tanpa panggung.

Warganet ramai memberi dukungan,

"Harusnya yang kayak gini dibantu!"

"Jangan nunggu viral dulu baru peduli!"

Padahal, kita tahu - inovasi semacam ini bukan hal mustahil.

Universitas-universitas pun sudah meneliti hal serupa. Di Depok, proyek jalan plastik bisa berjalan mulus karena digandeng perusahaan besar dan pemerintah daerah. Ketika ada logo korporat di spanduknya, tiba-tiba semua pintu terbuka.

Seolah-olah, inovasi baru sah disebut "resmi" kalau punya "orang dalam."

Toni tahu dirinya kecil.

"Kalau saya berhenti, siapa lagi yang mau nyoba?" katanya, sambil menepuk-nepuk paving block hasil buatannya.

Cerita Toni adalah cermin dari banyak mimpi kecil di negeri ini - mimpi yang lahir di bengkel, di garasi, di dapur rumah, di antara bau plastik dan keringat. Mimpi yang sering kali tak sempat tumbuh karena tertabrak birokrasi

Mungkin pemerintah punya alasan, mungkin ada regulasi yang belum siap. Tapi yang lebih berbahaya dari regulasi yang lambat adalah ketika harapan rakyat kecil dianggap tidak penting.

Kita tak sedang bicara tentang sampah plastik. Kita sedang bicara tentang keberanian - dan betapa beratnya menjadi orang yang berani di negeri yang lebih suka menonton daripada menolong.

Karena di tempat seperti bengkel Toni, masa depan tak dimulai dari rapat besar atau proyek triliunan. la dimulai dari tangan kecil yang menolak menyerah.

Jumat, 19 Februari 2021

Kota Denpasar Bali Ternyata Didirikan Belanda, Berawal dari Taman

 

Ditulis Oleh : Husyaeri

Kota Denpasar adalah ibu kota Bali, sekaligus menjadi kota terbesar di kawasan Kepulauan Nusa Tenggara. Denpasar dalam bahasa Bali berawal dari kata Den yang berarti utara dan Pasar, sehingga secara keseluruhan bermakna Utara Pasar. Hal ini menunjukkan bahwa Denpasar merupakan kota pasar, sekarang lebih dikenal sebagai Pasar Kumbasari (Peken Payuk).

Tidak banyak yang tahu bahwa dahulu Denpasar didirikan oleh kolonial Hindia Belanda. Mulanya, Denpasar merujuk pada Puri Denpasar milik Kyai Jambe Ksatrya yang menjabat sebagai raja di Kerajaan Badung. Puri Denpasar memiliki taman yang menjadi kesayangan Raja Badung karena dilengkapi tempat adu ayam (tajen), permainan kesukaan Kyai Jambe.

Baca juga: Nusa penida, Tempat pembuangan Tumbal yang Indah

puri denpasar
(denpasarkota.go.id)

Milik Kerajaan Badung di Bali

Kota Denpasar Bali dahulu masuk wilayah kekuasaan Kerajaan Badung, sebuah kerajaan Hindu yang berdiri sejak abad ke-18 hingga ke-19 Masehi. Belanda akhirnya menguasai wilayah Kerajaan Badung setelah menang di perang Puputan Badung pada 20 September 1906. Hampir semua anggota keluarga istana gugur, rakyat Bali mengakhiri perlawanan pada Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun kontrol wilayah di Bali bagian barat dan selatan, baik secara politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Dalam menjalankan kontrol wilayah tersebut, dibangunlah pemerintahan sementara di bekas wilayah Kerajaan Badung. Puri Denpasar menjadi pusat pemerintahan sementara dengan pertahanan terkuat Belanda di Pulau Bali.

Baca juga: Kenapa Hindu di Bali dan India Sangat Berbeda?

Sebutan Denpasar langsung meluas di kalangan Belanda, terutama tentara yang turut serta dalam perang. Denpasar tidak hanya merujuk pada pusat pemerintahan saja, namun juga bekas Kerajaan Badung. Perlahan, sebutan Denpasar dikenal sebagai nama sebuah kota menggantikan Badung. Kota Denpasar awalnya terdiri atas beberapa rumah milik penduduk lokal saja.

Agar mempermudah proses pengaturan pemerintahan di Bali. Pemerintah kolonial Hindia Belanda membagi wilayah Kerajaan Badung menjadi lima kedistrikan, yaitu Distrik Kota (Denpasar), Distrik Kasiman, Distrik Mengwi, Distrik Abiansemal, dan Distrik Kuta. Distrik Denpasar adalah pusat segala aktivitas pemerintahan, termasuk sosial, politik, hingga perekonomian.

Baca juga: Kenapa Bali Disebut Sebagai Pulau Dewata?

(denpasarkota.go.id)

Setelah Masa Kemerdekaan

Setelah masa kemerdekaan, Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958 telah menetapkan Denpasar menjadi ibu kota Kabupaten Badung. Selanjutnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des52/2/36-136 tangga 23 Juni 1960 memutuskan Denpasar menjadi ibu kota provinsi Bali yang dahulu berada di Singaraja. Denpasar menjadi berstatus kotamadya pada 1992.

Belanda memiki jasa besar dalam membangun Denpasar. Tidak hanya bidang formal seperti jalan dan gedung pemenerintahan, Belanda juga mendirikan sekolah, pemukiman, pasar, hingga museum. Sektor wisata mengalami kemajuan sangat pesat. Pada awal abad ke-19, Pantai Kuta banyak dilalui oleh kapal dagang. Hotel dan tempat hiburan telah ramai.

SHARE :